Seorang teman (wartawan pada salah satu harian nasional), pada salah satu
kesempatan, setelah lama tak berjumpa, bertanya, "Apa target masa depan
kau? karir profesional? kemapanan material, atau status sosial ?"
Saya menjawab, "Target pribadiku hanyalah, aku ingin tetap waras dan
punya hati nurani." (untuk kondisi Indonesia saat ini, keinginan tersebut mungkin terlalu mewah-what do you think ? )
Waras dan punya hati nurani, kelihatannya sederhana dan mudah. "Jadi
kau bekerja untuk apa, kalau tidak untuk berkarir ?", sang teman kembali
mencecar pertanyaan. "Buat ku bekerja itu justru untuk menjaga agar diriku
tetap waras, dan enjoy dengan apa yang aku kerjakan. Sedangkan karir itu kan
bisa-bisanya yang ngasih kerjaan.
Bagaimana dengan hati nurani ?
Apakah bertindak waras sudah pasti sesuai dengan hati nurani? Justru di
sini masalahnya, bertindak waras sudah pasti diawali dengan berpikir waras. Apa artinya berpikir waras? Bagiku berpikir waras adalah berpikir menurut aturan logika artinya berpikir menurut hukum-hukum
material, hukum-hukum fisika, dan hukum-hukum alam yang universal lainnya.
Sedangkan hati nurani bagi ku ini adalah kesadaran yang datang dari dalam yang berkamuskan kasih sayang dan kepedulian kepada sesama manusia.
Untuk bertindak waras saja aku pikir tidak terlalu susah, apalagi teman-temanku yang pernah kuliah di ITB, atau di PT manapun, atau yang otodidak yang berguru kepada alam . Aku yakin mereka yang mampu menguasai
hukum dan logika material akan dapat bertindak waras. Dan sebagai konsekuensinya mereka akan mampu mengelola bahkan memiliki sumber
daya yang ada di Indonesia, yang jumlahnya sangat melimpah .
Lalu bagaimana dengan hati nurani ? akankah dengan sendirinya muncul dari
kesadaran logika ? Bagi ku hati nurani kata kuncinya ada dua :
kasih sayang dan peduli kepada sesama manusia
Bertentangankah logika dan hati nurani ?
Mungkin kamu pernah menghadapi suatu kondisi, dimana menurut hukum logika kamu
harus bertindak A, tetapi nurani kamu berkata lain, mungkin kamu melakukan A' atau B (yang bertolak belakang dari A), tentu dengan konsekuensi yang bertolak belakang juga .
Bagaimana kalau kondisi sebaliknya?
Menurut hati nurani, kamu harus melakukan X, tetapi persyaratan logika material tidak kamu penuhi, apa yang akan terjadi? Mampukah hati nurani merubah realitas yang ada ? Menurutku tidak ! Bahkan Tuhan pun Sang Maha Kehendak tunduk dan konsisten terhadap hukum-hukum yang
dibuat-Nya.
Cobalah tengok bagaimana Stephen Hawking dengan Big Bang teorinya,mencoba
menjelaskan peristiwa penciptaan alam semesta (bahkan Tuhan pun untuk
menciptakan alam semesta memerlukan proses ). Atau Darwin, dengan teori Evolusinya, mencoba menjelaskan bagaimana proses
asal usul makhluk hidup di alam semesta.
Contoh lain, pernahkah kamu berpikir bagaimana kamu hadir ke dunia?
Kenapa harus melalui proses pertemuan antara sel telur dan sperma?
kemudian menjadi embrio, kemudian menjadi janin, akhirnya kamu terlahir
sebagai bayi. Bagaimana kalau suatu waktu nanti tidak lagi diperlukan sel
telur atau sperma untuk menghasilkan embrio (dengan teknologi kloning, suatu
hari hal tersebut dapat terjadi). Atau bahkan mungkin suatu waktu tercipta rahim buatan, sehingga wanita tidak
perlu hamil. Kalau pun hal-hal tersebut terjadi, toh tetap ada jarak, tetap
dibutuhkan medium antara kehendak dan realita. Bahkan Tuhan pun tidak
semena-mena, walaupun Dia Sang Maha Kuasa .
Jadi setulus apapun hati nurani kamu, kalau kamu tidak memenuhi hukum-hukum
alam, maka kamu tidak akan mampu merubah realita, sekecil apapunn. (That's the
point !)
Untuk konteks Indonesia saat ini, kita sebagai suatu bangsa, nampaknya telah kehilangan kedua-duanya baik kewarasan maupun hati nurani.
Untuk itu melalui tulisan ini, saya menghimbau kepada teman-teman,marilah
kita investasikan waktu dan segala sumber daya yang kita punya untuk berlatih
dan berguru memperkuat logika agar tetap waras dan mengasah hati nurani kita
agar tetap tajam dan peka terhadap nasib sesama manusia, agar tercipta masa
depan Indonesia yang bermartabat.
Salam,
No comments:
Post a Comment